Kritik sebagian anggota masyarakat tentang infotainment yang telah lama disuarakan tampaknya kini bagaikan gayung bersambut saat Musyawarah Alim Ulama dari organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama memutuskan bahwa sebagian isi “Infotainment” haram hukumnya untuk ditonton, seperti yang diperbincangkan dalam sebuah stasiun televisi swasta pada Rabu, 02/08/06 jam 22.00 WIB. Bagi pihak produser infotainment dan televisi swasta itu sendiri, hal ini bagaikan pukulan telak. Pasalnya, justru dari tayangan acara ini pihak insan media elektronik tersebut mampu meraup rupiah dalam jumlah yang lumayan besar. Rating televisi selalu menyertakan program acara infotainment. Sebab itulah televisi-televisi swasta rajin membombardir khalayaknya dengan gosip-gosip seputar selebritas yang identik dengan infotainment.
Sebenarnya ada sedikit salah-kaprah terhadap infotainment di Indonesia. Infotainment dimaknai sebagai informasi dari jagad hiburan (selebritas), terutama di televisi. Padahal sejatinya infotainment dimaksudkan untuk mengkategorikan program televisi yang menayangkan informasi dari berbagai bidang (ilmu, teknologi, pengetahuan praktis) dengan kemasan yang menghibur.
IMPLIKASI DEMOKRATISASI RUANG PUBLIK
Pihak yang mengkritik tayangan infotainment umumnya berkeberatan terhadap isi yang melulu pada gosip ataupun fakta yang tak berbobot dan tak sehat. Masyarakat Indonesia masih belum maju dalam ilmu dan teknologi. Sehingga, tayangan-tayangan di televisi seyogyanya berisi informasi yang membawa masyarakat kepada proses pembelajaran yang mendidik dan bermartabat bertumpu pada nilai etika, kesopanan, maupun kecakapan dalam ilmu dan teknologi. Dengan demikian, tayangan yang mengarah pada isi fakta—bahkan gosip—seputar aib kehidupan pribadi menjadi kontra-produktif atau tidak berbobot.
Namun, implikasi dari demokratisasi ruang publik adalah mencuatnya kesadaran terhadap penghargaan akan hak memeroleh informasi yang kian besar dari khalayak, dan ini yang ditangkap dengan cerdas oleh para pekerja media. Di mana pun di dunia, demokrasi selalu diimbangi dengan munculnya kekuatan mekanisme pasar. Program-program televisi menjadi komoditas berlandaskan hukum pasar. Bila pasar menghendaki suatu tayangan, maka pekerja media akan segera memenuhi selera pasar itu. Celakanya, sering selera pasar berharap televisi dengan karakteristiknya menyajikan suguhan sekadar memuaskan dahaga khalayak terhadap hiburan yang sensasional. Sebab, persepsi khalayak terhadap televisi telanjur mengental bahwa media elektronik yang satu ini hanya merupakan ajang mencari hiburan. Dengan sifatnya yang audio-visual, televisi menawarkan harga yang paling murah dibandingkan dengan ajang hiburan lainnya. Ini sah saja. Yang kemudian menjadi masalah adalah bagaimana menjembatani konflik kepentingan antara yang pro dan kontra terhadap tayangan infotainment?
MELEK MEDIA SEBAGAI MODAL
Terhadap keberatan tayangan televisi yang kurang berbobot, pihak televisi telah bersiap mengadakan perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Ilham Bintang—salah-satu tokoh berbagai infotainment—pada wawancara di sebuah stasiun televisi swasta (02/08/06) dalam rangka menanggapi fatwa haram untuk tayangan televisi yang menggunjingkan aib kehidupan pribadi yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama, bahwa ke depan produser infotainment akan mengadakan perubahan. Tetapi, hal ini tidak sepenuhnya menjamin perbaikan program infotainment. Sebenarnya terdapat beberapa instrumen yang mampu mengurangi maraknya tayangan gosip di infotainment.
Pertama, kalangan media mesti lebih mengetatkan lagi penegakan etika penyiaran di kalangan mereka sendiri. Selama ini khalayak belum banyak melihat langkah-langkah profesional “menghukum” media yang melanggar etika penyiaran atau kode etik profesi mereka. Ada kesan profesionalisme di kalangan media masih “kedodoran”, terlihat dari masih adanya ungkapan “menurut informasi orang-orang yang dekat dengan…”, “ketika berita ini kami klarifikasikan, yang bersangkutan handphone-nya tidak aktif…” atau suara presenter yang sejenisnya. Kedua, kalangan yang dirugikan dapat lebih pro-aktif mengadukannya kepada pihak yang berwenang. Ini dimungkinkan karena perangkat hukum telah mengaturnya. Sayangnya pihak yang dirugikan biasanya adalah orang yang diberitakan secara negatif, sedangkan penonton yang merasa dirugikan dengan berita yang menurutnya tidak sesuai dengan harapannya tidak mampu berbuat banyak. Ketiga—yang masih jarang diperhatikan—adalah peningkatan keterampilan melek media (media literacy) sebagai modal berinteraksi dengan media.
Melek media, gerakan untuk memperluas gagasan mengenai kemelekan terhadap media pasca-cetak yang kuat yang mendominasi tataran informasional kita, membantu masyarakat memahami, memproduksi, dan menegosiasikan makna dalam suatu budaya yang terbentuk dari citra-citra, kata-kata, dan suara-suara yang kuat. Seseorang yang melek media—dan setiap orang seharusnya memiliki peluang terhadap hal itu—dapat menafsirkan simbol, mengevaluasi, menganalisis, dan memproduksi pesan baik media cetak maupun elektronik (Aufderheide & Firestone, 1993). Melek media diperlukan karena dalam hidup ini kita menghadapi selain realitas sehari-hari juga realitas di media. Kita tak dapat melarikan diri dari media. Kendatipun secara fisik mampu, kita tetap dipengaruhi oleh media karena orang-orang kepada siapa kita berkomunikasi telah dipengaruhi oleh media. Pesan media sering bukanlah representasi dari fenomena, melainkan konstruksi realitas yang perlu dicerna dengan cerdas melalui melek media. Dengan demikian, kita tidak terlalu banyak
sumber : http://kajiankomunikasi.wordpress.com/2008/09/19/23/#more-23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar