Awal gerakan perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an . Ketika
itu para perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh
kebanyakan perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki
keahlian. Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan
perubahan sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih
dalam pemilu. Tokoh-tokoh perempuan
ketika itu antara lain Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan
Marry Wollstonecraft. Bertahun-tahun mereka berjuang, turun jalan dan
200 aktivis perempuan sempat ditahan, ketika itu.
Seratus tahun kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad
industrialisasi mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat.
Mereka mulai keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial
dengan korban para perempuan. Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai
muncul, meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang
feminis yang dapat menulis secara teorityis tentang persoalan perempuan.
Adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis
yang menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh
tahun setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami
kemajuan yang pesat. Persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak
adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai didiskusikan secara
terbuka. Pergerakan perempuan baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah
membawa dampak luar biasa dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi
bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai di situ.
Wacana-wacana baru terus bermunculan hingga kini. Perjuangan perempuan
adalah perjuangan tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan
kemerdekaan atau rasial. Musuh perempuan seringkali tidak berbentuk dan
bersembunyi dalam kamar-kamar pribadi. Karenya perjuangan kesetraan
perempuan tetap akan bergulir sampai kami berdiri tegap seperti manusia
lainnya yang diciptakan Tuhan.
Aliran-Aliran Gerakan Perempuan
Gerakan perempuan
tidak pernah mengalami keseragaman di muka bumi ini. Antara satu negara
dan satu budaya dengan negara dan budaya lain, memiliki pola yang
kadang berbeda, bahkan ambivalen. Feminisme sebagai sebuah isme dalam
perjuangan gerakan perempuan juga mengalami interpretasi dan penekanan
yang berbeda di beberapa tempat.
Ide atau gagasan para feminis yang berbeda di tiap negara ini misalnya tampak pada
para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi oposan dari
pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya.
Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan
membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan
di ranah publik, akan berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis
Itali lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan sosialdan hak-hak
perempuan sebagai ibu, istri dan pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione
DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National Organization for
Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini
mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di
Indonesia.
Hal yang sedikit berbeda terjadi di Perancis. Umumnya feminis di sana
menolak dijuluki sebagai feminis. Para perempuan yang tergabung dalam
Mouvment de liberation des femmes ini lebih berbasis pada psikoanalisa
dan kritik sosial. Di Inggris pun tokoh-tokoh seperti Juliat Mitcell dan
Ann Oakley
termasuk menentang klaim-klaim biologis yang dilontarkan para feminis
radikal dan liberal yang menjadi tren di tahun 60-an. Bagi mereka, yang
bisa menjadi pemersatu kaum perempuan adalah konstruksi sosial bukan
semata kodrat biologinya. Di dunia Arab, istilah feminisme dan feminis
tertolak lebih karena faktor image barat yang melekat pada istilah
tersebut. Pejuang feminis di sana menyiasati masalah ini dengan
menggunakan istilah yang lebih Arab atau Islam seperti Nisa’i atau
Nisaism.
Meski kemudian definisi feminisme banyak mengalami pergeseran, namun
rata-rata feminis tetap melihat bahwa setiap konsep, entah itu dari kubu
liberal, radikal maupun sosialis tetap beraliansi secara subordinat
terhadap ideologi politik tertentu. Dan konflik yang terjadi di antara
feminis itu sendiri sering disebabkan diksi politik konvensional melawan
yang moderat. Misalnya konsep otonomi dari kubu feminis radikal
berkaitan dengan gerakan antikolonial, sementara kubu feminis liberal
menekankan pada pentingnya memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan
dalam kerangka bermasyarakat dan berpolitik yang plural. Inilah mengapa
feminis selalu bercampur dengan tradisi politik yang dominan di suatu
masa.
Hingga bila dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang
berkembang, maka aliran-aliran dalam femninisme dapat dibedakan ke dalam
kubu-kubu sebagai berikut.
1. Feminisme radikal
2. Feminisme liberal.
(Keduanya lebih mengedepankan klaim-klaim biologis, dan dikenal sebagai kelompok feminis-ideologis).
3. Feminisme sosialis atau feminisme Marxis: perempuan lebih dipandang
dari sudut teori kelas, sebagai kelas masyarakat yang tertindas.
4. Feminisme ras atau feminisme etnis: yang lebih mengedepankan persoalan pembedaan perlakuan terhadap perempuan kulit berwarna.
Di luar kecenderungan tradisi politik di atas, berkembang pula ragam
feminisme karena pendekatan teori dan kecenderungan kelompok sosial
tertentu, seperti:
5. Feminisme psikoanalisis, dan
6. Feminisme lesbian.
Dari semua aliran yang ada di atas, masih berpotensi untuk berkembang
menjadi beberapa beberapa sempalan aliran lain, dan seperti yang telah
diungkapkan di atas, wacana feminisme dan gerakan perempuan akan terus
berkembang seiring dengan ragam perkembangan kelas masyarakat yang
memperjuangkannya, kecenderungan kondisi sosial politik, serta
kepentingan yang membingkai perjuangan tersebut.
Namun ada dua kategori kecenderungan besar yang dapat disebutkan dan
cukup dikenal dan berpengaruh hingga sekarang, yakni: fenimisme ortodoks
dan postfeminisme.
A. Feminisme ortodoks
Atau dikenal sebagai feminisme gelombang kedua, berkarakter sangat
fanatik dan ortodoks dengan penjelasan-penjelasan wacana patriarkhal.
Kaum feminis garis keras ini begitu yakin bahwa segala sesuatu yang
menyusahkan dan menindas perempuan
berhubungan dengan patrarkhal, hingga segala argumen hanya bertumpu
pada penjelasan patrarkhal. Camille Paglia seorang profesor studi
kemanusiaan dari Universitas Philadelphia mengkritik sikap feminis
ortodoks sebagai kelompok yang selalu menganggap perempuan sebagai
korban.
Bagi kalangan feminis ortodoks feminisme diartikan sebagai
identifikasi dengan keinginan kesetaraan gender lewat perjuangan
historis yang dicapai dengan advokasi melalui kegiatan politik.
Feminisme memperlihatkan adanya perbedaan antara femnin dan maskulin
yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Sedangkan jantan (male)
dan betina (female) merupakan aspek biologis yang menentukan jenis
kelamin pria
dan perempuan. Perbedaan linguistik ini bagi feminis ortodoks dianggap
sebagai sesuatu yang ideologis. Sedangkan bagi kalangan postfeminisme
dianggap sebagai masalah.
Contoh dalam penanganan kasus pemerkosaan atau kekerasan terhadap
perempuan misalnya, mereka akan mengandalkan argumen-argumen kelemahan
perempuan, korban yang harus selalu duilindungi dan selalu mengalami
ketidakadilan dari masyarakat yang patriarkhal. Argumen semacam ini
terkesan manipulatif dan tidak bertanggung jawab.
Kalangan ini banyak diwakili oleh femnistes revolusionares (FR) yang
berdiri sejak tahun 1970 yang merupakan bagian dari Movement de
Libaration des Femmes (MLF) atau gerakan pembebasan perempuan.
Kelompok FR ini tidak menggunakan pendekatan psikoanalisa dan sangat
mengagungkan kesetaraan serta rata-rata didukung kalangan lesbian.
Teori dasar kelompok FR adalah menentang determinisme biologis, yaitu
perempuan tersubordinasi dengan norma-norma maskulin, karena haluan ini
(determinsime biologis) menurut mereka merujuk pada pandangan
tradisional esensialisme. Teori ini (tradisonal esensial) menekankan
bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan adalah fixed
atau kodrat yang tidak dapat berubah. Sementara menurut FR perbedaan
terjadi karena masyarakat patriarkhi menganggap perempuan sebagai “the
other” dalam tataran biologis dan psikis.
B. Postfemnisme
Kecenderungan feminisme ortodoks yang selalu melihat perempuan
sebagai makhluk lemah tak berdaya dan korban laki-laki ini, tidak dapat
diterima oleh perempuan-perempuan muda tahun 1900-an dan 2000 di
beberapa negara maju. Retorika feminisme yang melekat pada “ibu-ibu”
mereka terutama di tahun 70-an di daratan Amerika dan Inggris
telah membuat generasi kuda “bosan” dengan femnisme. Feminisme sekan
menjadi ukuran moralistik dan politik seseorang dan menjadi pergerakan
kaum histeris, serta sangat mudah untuk menuduh dan melabeling seseorang
dengan atribut “tidak femnis”. Kelompok inilah yang kemudian
memperjuangkan postfeminisme.
Bahkan embrio kelompok ini sudah mulai muncul di tahun 1968 di Paris,
tepatnya ketika mereka (kelompok anggota po et psych/ politique et
psychoanalyse) turun ke jalan pada Hari Perempuan tanggal 8 Maret 1968
dan meneriakkan : Down with feminism. Sejak tahun 1960 kelompok
postfeminis ini telah berusaha mendekonstruksi wacana pastriarkhal
terutama wacana yang dikembangkan oleh feministes revolutionnaires (FR).
Sumber: (http://www.averroes.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar