Minggu, 29 April 2012

Sejarah Lahirnya Gerakan Perempuan di Dunia

Awal gerakan perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an . Ketika itu para perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian. Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu. Tokoh-tokoh perempuan ketika itu antara lain Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft. Bertahun-tahun mereka berjuang, turun jalan dan 200 aktivis perempuan sempat ditahan, ketika itu.
Seratus tahun kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban para perempuan. Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai muncul, meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang feminis yang dapat menulis secara teorityis tentang persoalan perempuan. Adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis yang menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh tahun setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami kemajuan yang pesat. Persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka. Pergerakan perempuan baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah membawa dampak luar biasa dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru terus bermunculan hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau rasial. Musuh perempuan seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi dalam kamar-kamar pribadi. Karenya perjuangan kesetraan perempuan tetap akan bergulir sampai kami berdiri tegap seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan.
Aliran-Aliran Gerakan Perempuan
Gerakan perempuan tidak pernah mengalami keseragaman di muka bumi ini. Antara satu negara dan satu budaya dengan negara dan budaya lain, memiliki pola yang kadang berbeda, bahkan ambivalen. Feminisme sebagai sebuah isme dalam perjuangan gerakan perempuan juga mengalami interpretasi dan penekanan yang berbeda di beberapa tempat.
Ide atau gagasan para feminis yang berbeda di tiap negara ini misalnya tampak pada
para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi oposan dari pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya. Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan sosialdan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri dan pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di Indonesia.
Hal yang sedikit berbeda terjadi di Perancis. Umumnya feminis di sana menolak dijuluki sebagai feminis. Para perempuan yang tergabung dalam Mouvment de liberation des femmes ini lebih berbasis pada psikoanalisa dan kritik sosial. Di Inggris pun tokoh-tokoh seperti Juliat Mitcell dan Ann Oakley termasuk menentang klaim-klaim biologis yang dilontarkan para feminis radikal dan liberal yang menjadi tren di tahun 60-an. Bagi mereka, yang bisa menjadi pemersatu kaum perempuan adalah konstruksi sosial bukan semata kodrat biologinya. Di dunia Arab, istilah feminisme dan feminis tertolak lebih karena faktor image barat yang melekat pada istilah tersebut. Pejuang feminis di sana menyiasati masalah ini dengan menggunakan istilah yang lebih Arab atau Islam seperti Nisa’i atau Nisaism.
Meski kemudian definisi feminisme banyak mengalami pergeseran, namun rata-rata feminis tetap melihat bahwa setiap konsep, entah itu dari kubu liberal, radikal maupun sosialis tetap beraliansi secara subordinat terhadap ideologi politik tertentu. Dan konflik yang terjadi di antara feminis itu sendiri sering disebabkan diksi politik konvensional melawan yang moderat. Misalnya konsep otonomi dari kubu feminis radikal berkaitan dengan gerakan antikolonial, sementara kubu feminis liberal menekankan pada pentingnya memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan dalam kerangka bermasyarakat dan berpolitik yang plural. Inilah mengapa feminis selalu bercampur dengan tradisi politik yang dominan di suatu masa.
Hingga bila dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang berkembang, maka aliran-aliran dalam femninisme dapat dibedakan ke dalam kubu-kubu sebagai berikut.
1. Feminisme radikal
2. Feminisme liberal.
(Keduanya lebih mengedepankan klaim-klaim biologis, dan dikenal sebagai kelompok feminis-ideologis).
3. Feminisme sosialis atau feminisme Marxis: perempuan lebih dipandang dari sudut teori kelas, sebagai kelas masyarakat yang tertindas.
4. Feminisme ras atau feminisme etnis: yang lebih mengedepankan persoalan pembedaan perlakuan terhadap perempuan kulit berwarna.
Di luar kecenderungan tradisi politik di atas, berkembang pula ragam feminisme karena pendekatan teori dan kecenderungan kelompok sosial tertentu, seperti:
5. Feminisme psikoanalisis, dan
6. Feminisme lesbian.
Dari semua aliran yang ada di atas, masih berpotensi untuk berkembang menjadi beberapa beberapa sempalan aliran lain, dan seperti yang telah diungkapkan di atas, wacana feminisme dan gerakan perempuan akan terus berkembang seiring dengan ragam perkembangan kelas masyarakat yang memperjuangkannya, kecenderungan kondisi sosial politik, serta kepentingan yang membingkai perjuangan tersebut.
Namun ada dua kategori kecenderungan besar yang dapat disebutkan dan cukup dikenal dan berpengaruh hingga sekarang, yakni: fenimisme ortodoks dan postfeminisme.
A. Feminisme ortodoks
Atau dikenal sebagai feminisme gelombang kedua, berkarakter sangat fanatik dan ortodoks dengan penjelasan-penjelasan wacana patriarkhal. Kaum feminis garis keras ini begitu yakin bahwa segala sesuatu yang menyusahkan dan menindas perempuan berhubungan dengan patrarkhal, hingga segala argumen hanya bertumpu pada penjelasan patrarkhal. Camille Paglia seorang profesor studi kemanusiaan dari Universitas Philadelphia mengkritik sikap feminis ortodoks sebagai kelompok yang selalu menganggap perempuan sebagai korban.
Bagi kalangan feminis ortodoks feminisme diartikan sebagai identifikasi dengan keinginan kesetaraan gender lewat perjuangan historis yang dicapai dengan advokasi melalui kegiatan politik. Feminisme memperlihatkan adanya perbedaan antara femnin dan maskulin yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Sedangkan jantan (male) dan betina (female) merupakan aspek biologis yang menentukan jenis kelamin pria dan perempuan. Perbedaan linguistik ini bagi feminis ortodoks dianggap sebagai sesuatu yang ideologis. Sedangkan bagi kalangan postfeminisme dianggap sebagai masalah.
Contoh dalam penanganan kasus pemerkosaan atau kekerasan terhadap perempuan misalnya, mereka akan mengandalkan argumen-argumen kelemahan perempuan, korban yang harus selalu duilindungi dan selalu mengalami ketidakadilan dari masyarakat yang patriarkhal. Argumen semacam ini terkesan manipulatif dan tidak bertanggung jawab.
Kalangan ini banyak diwakili oleh femnistes revolusionares (FR) yang berdiri sejak tahun 1970 yang merupakan bagian dari Movement de Libaration des Femmes (MLF) atau gerakan pembebasan perempuan. Kelompok FR ini tidak menggunakan pendekatan psikoanalisa dan sangat mengagungkan kesetaraan serta rata-rata didukung kalangan lesbian.
Teori dasar kelompok FR adalah menentang determinisme biologis, yaitu perempuan tersubordinasi dengan norma-norma maskulin, karena haluan ini (determinsime biologis) menurut mereka merujuk pada pandangan tradisional esensialisme. Teori ini (tradisonal esensial) menekankan bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan adalah fixed atau kodrat yang tidak dapat berubah. Sementara menurut FR perbedaan terjadi karena masyarakat patriarkhi menganggap perempuan sebagai “the other” dalam tataran biologis dan psikis.
B. Postfemnisme
Kecenderungan feminisme ortodoks yang selalu melihat perempuan sebagai makhluk lemah tak berdaya dan korban laki-laki ini, tidak dapat diterima oleh perempuan-perempuan muda tahun 1900-an dan 2000 di beberapa negara maju. Retorika feminisme yang melekat pada “ibu-ibu” mereka terutama di tahun 70-an di daratan Amerika dan Inggris telah membuat generasi kuda “bosan” dengan femnisme. Feminisme sekan menjadi ukuran moralistik dan politik seseorang dan menjadi pergerakan kaum histeris, serta sangat mudah untuk menuduh dan melabeling seseorang dengan atribut “tidak femnis”. Kelompok inilah yang kemudian memperjuangkan postfeminisme.
Bahkan embrio kelompok ini sudah mulai muncul di tahun 1968 di Paris, tepatnya ketika mereka (kelompok anggota po et psych/ politique et psychoanalyse) turun ke jalan pada Hari Perempuan tanggal 8 Maret 1968 dan meneriakkan : Down with feminism. Sejak tahun 1960 kelompok postfeminis ini telah berusaha mendekonstruksi wacana pastriarkhal terutama wacana yang dikembangkan oleh feministes revolutionnaires (FR). Sumber: (http://www.averroes.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar