Minggu, 29 April 2012

Organisasi Pergerakan Nasional Pada Zaman Jepang

Selama masa pendudukan Jepang, bangsa Indonesia dilarang membentuk organisasi sendiri. Akan tetapi, Jepang sendiri membentuk organisasi-organisasi bagi rakyat Indonesia dengan maksud dipersiapkan untuk membantu Jepang. Organisasi-organisasi ini pada akhirnya berbalik melawan Jepang.
1. Gerakan Tiga A
Gerakan Tiga A merupakan organisasi propaganda untuk kepentingan perang Jepang. Organisasi ini berdiri pada bulan April 1942. Pimpinannya adalah Mr. Sjamsuddin. Tujuan berdirinya Gerakan Tiga A adalah agar rakyat dengan sukarela menyumbangkan tenaga bagi perang Jepang. Semboyannya adalah Nippon cahaya Asia, Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia. Untuk menunjang gerakan ini, dibentuk Barisan Pemuda Asia Raya yang dipimpin Sukarjo Wiryopranoto. Adapun untuk menyebarluaskan propaganda, diterbitkan surat kabar Asia Raya. Setelah kedok organisasi ini diketahui, rakyat kehilangan simpati dan meninggalkan organisasi tersebut. Pada tanggal 20 November 1942, organisasi ini dibubarkan.
2. Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
Pada tanggal 9 Maret 1943, diumumkan lahirnya gerakan baru yang disebut Pusat Tenaga Rakyat atau Putera. Pemimpinnya adalah empat serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansyur. Tujuan Putera menurut versi Ir. Soekarno adalah untuk membangun dan menghidupkan segala sesuatu yang telah dirobohkan oleh imperialisme Belanda. Adapun tujuan bagi Jepang adalah untuk memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia dalam rangka membantu usaha perangnya. Oleh karena itu, telah digariskan sebelas macam kegiatan yang harus dilakukan sebagaimana tercantum dalam peraturan dasarnya. Di antaranya yang terpenting adalah memengaruhi rakyat supaya kuat rasa tanggung jawabnya untuk menghapuskan pengaruh Amerika, Inggris, dan Belanda, mengambil bagian dalam mempertahankan Asia Raya, memperkuat rasa persaudaraan antara Indonesia dan Jepang, serta mengintensifkan pelajaran-pelajaran bahasa Jepang. Di samping itu, Putera juga mempunyai tugas di bidang sosial-ekonomi. Jadi, Putera dibentuk untuk membujuk para kaum nasionalis sekuler dan golongan intelektual agar mengerahkan tenaga dan pikirannya guna membantu Jepang dalam rangka menyukseskan Perang Asia Timur Raya. Organisasi Putera tersusun dari pemimpin pusat dan pemimpin daerah. Pemimpin pusat terdiri dari pejabat bagian usaha budaya dan pejabat bagian propaganda. Akan tetapi, organisasi Putera di daerah semakin hari semakin mundur. Hal ini disebabkan, antara lain,
a. keadaan sosial masyarakat di daerah ternyata masih terbelakang, termasuk dalam bidang pendidikan, sehingga kurang maju dan dinamis;
b. keadaan ekonomi masyarakat yang kurang mampu berakibat mereka tidak dapat membiayai gerakan tersebut.
Dalam perkembangannya, Putera lebih banyak dimanfaatkan untuk perjuangan dan kepentingan bangsa Indonesia. Mengetahui hal ini, Jepang membubarkan Putera dan mementingkan pembentukan organisasi baru, yaitu Jawa Hokokai.
3. Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa (Jawa Hokokai)
Jepang mendirikan Jawa Hokokai pada tanggal 1 Januari 1944. Organisasi ini diperintah langsung oleh kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan). Latar belakang dibentuknya Jawa Hokokai adalah Jepang menyadari bahwa Putera lebih bermanfaat bagi pihak Indonesia daripada bagi pihak Jepang. Oleh karena itu, Jepang merancang pembentukan organisasi baru yang mencakup semua golongan masyarakat, termasuk golongan Cina dan Arab. Berdirinya Jawa Hokokai diumumkan oleh Panglima Tentara Keenambelas, Jenderal Kumakichi Harada.
Sebelum mendirikan Jawa Hokokai, pemerintah pendudukan Jepang lebih dahulu meminta pendapat empat serangkai. Alasan yang diajukan adalah semakin hebatnya Perang Asia Timur Raya sehingga Jepang perlu membentuk organisasi baru untuk lebih menggiatkan dan mempersatukan segala kekuatan rakyat. Dasar organisasi ini adalah pengorbanan dalam hokoseiskin (semangat kebaktian) yang meliputi pengorbanan diri, mempertebal rasa persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bakti. Secara tegas, Jawa Hokokai dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Jika pucuk pimpinan Putera diserahkan kepada golongan nasionalis Indonesia, kepemimpinan Jawa Hokokai pada tingkat pusat dipegang langsung oleh Gunseikan. Adapun pimpinan daerah diserahkan kepada pejabat setempat mulai dari Shucokan sampai Kuco. Kegiatan-kegiatan Jawa Hokokai sebagaimana digariskan dalam anggaran dasarnya sebagai berikut.
a. Melaksanakan segala sesuatu dengan nyata dan ikhlas untuk menyumbangkan segenap tenaga kepada pemerintah Jepang.
b. Memimpin rakyat untuk menyumbangkan segenap tenaga berdasarkan semangat persaudaraan antara segenap bangsa.
c. Memperkukuh pembelaan tanah air.
Anggota Jawa Hokokai adalah bangsa Indonesia yang berusia minimal 14 tahun, bangsa Jepang yang menjadi pegawai negeri, dan orang-orang dari berbagai kelompok profesi. Jawa Hokokai merupakan pelaksana utama usaha pengerahan barang-barang dan padi. Pada tahun 1945, semua kegiatan pemerintah dalam bidang pergerakan dilaksanakan oleh Jawa Hokokai sehingga organisasi ini harus melaksanakan tugas dengan nyata dan menjadi alat bagi kepentingan Jepang.
4. Cuo Sangi In (Badan Pertimbangan Pusat)
Ketika pemerintahan Jepang berada di tangan Perdana Menteri Toyo, Jepang pernahmemberi janji merdeka kepada Filipina dan Burma, namun tidak melakukan hal yang sama kepada Indonesia. Oleh karena itu, kaum nasionalis Indonesia protes. Menanggapi protes tersebut, PM Toyo lalu membuat kebijakan berikut.
a. Pembentukan Dewan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In).
b. Pembentukan Dewan Pertimbangan Karesidenan (Shu Sangi Kai) atau daerah.
c. Tokoh-tokoh Indonesia diangkat menjadi penasihat berbagai departemen.
d. Pengangkatan orang Indonesia ke dalam pemerintahan dan organisasi resmi lainnya.
5. Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI)
MIAI merupakan organisasi yang berdiri pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1937 di Surabaya. Pendirinya adalah K. H. Mas Mansyur dan kawan-kawan. Organisasi ini tetap diizinkan berdiri pada masa pendudukan Jepang sebab merupakan gerakan anti-Barat dan hanya bergerak dalam bidang amal (sebagai baitulmal) serta penyelenggaraan hari-hari besar Islam saja. Meskipun demikian, pengaruhnya yang besar menyebabkan Jepang merasa perlu untuk membatasi ruang gerak MIAI.
D. Reaksi Kaum Pergerakan Nasional terhadap Jepang
Kaum pergerakan dan kaum intelek nasional akhirnya sadar bahwa Jepang ternyata jauh lebih berbahaya bagi bangsa Indonesia karena kekejaman dan penindasannya terhadap rakyat. Sejak awal tahun 1944, rasa simpati terhadap Jepang mulai hilang dan berganti dengan kebencian. Muncullah gerakan-gerakan perlawanan terhadap Jepang, seperti Gerakan 3A, Putera, dan Peta.
Salah satu contoh pemberontakan bangsa Indonesia yang terbesar terhadap Jepang adalah pemberontakan Peta Blitar tanggal 4 Februari 1945. Pemberontakan yang dipimpin Supriyadi ini sangat mengejutkan Jepang. Banyak tentara Jepang yang terbunuh. Untuk menghadapinya, Jepang mengepung kedudukan Supriyadi. Terjadilah tembak menembak yang membawa banyak korban bagi kedua belah pihak. Dalam pertempuran tersebut, Supriyadi menghilang. Peristiwa ini diabadikan sebagai hari Peta.
Setelah perlawanan tersebut, muncul perlawanan-perlawanan lainnya dari berbagai daerah, seperti perlawanan rakyat Aceh dan perlawanan rakyat Sukamanah, Tasikmalaya. Adapun dari kalangan intelektual, muncul organisasi-organisasi bawah tanah yang menyebarluaskan pandangan anti-Jepang. Mereka menanamkan bahwa bagaimanapun, Jepang tetap adalah juga penjajah seperti halnya Belanda. Bangsa Indonesia menurut mereka, hanya akan sejahtera jika telah sepenuhnya merdeka. Tokoh gerakan ini adalah Sjahrir dan Amir Sjarifuddin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar